-->

Saturday, October 25, 2014

Bioterorisme, Ketika Sains Diselewengkan untuk Kejahatan dan Perang





Sama dengan pisau, sains bisa digunakan untuk kebaikan atau kejahatan. Bahkan ilmuwan bisa menciptakan virus berbahaya bagi manusia demi tujuan negatif. Flu burung pun sempat diisukan sebagai penyakit hasil buatan manusia dengan maksud tertentu. Fenomena ini dikenal dengan istilah bioterorisme.

Bioterorisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan penggunaan sabotase atau penyerangan dengan bahan-bahan biologis atau racun biologis dengan tujuan untuk menimbulkan kerusakan pada perorangan atau kelompok perorangan. Aktifitas-aktifitas ini, secara umum, menyebabkan kerusakan, intimidasi, atau kohersi, dan biasanya berhubungan dengan ancaman yang menyebabkan kepanikan publik. 

Agen biologis yang paling umum digunakan sebagai senjata teror adalah mikroorganisme dan racun-racunya, yang dapat digunakan untuk menimbulkan penyakit atau kematian pada populasi penduduk, binatang, bahkan tanaman. Agen pencemaran dapat dilepaskan di udara, air, atau makanan. Ada banyak definisi mengenai bioterorisme, namun secara substansial akan sama dengan definisi diatas.



Senjata Biologis

Konvensi pertama untuk melarang penggunaan senjata biologis ditandatangani di Jenewa pada tahun 1925. Di tahun 1972, dibawah kepemimpinan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), 103 negara menandatangani konvensi mengenai senjata biologis, yang isinya melarang pengembangan, produksi, penumpukan, dan penggunaan senjata biologis. Tujuan dari konvensi ini adalah untuk melenyapkan secara sepenuhnya kemungkinan dari penggunaan agen biologis dan racunya sebagai senjata pemusnah masal.

Pada konferensi mengenai bioterorisme di San Diego, Kalifornia pada awal tahun 2000, para pakar menyimpulkan bahwa Amerika Serikat tidak siap untuk menghadapi serangan senjata biologis dengan patogen seperti cacar, antrax, Ebola, botulinum, dan lainnya. Pada simposium nasional kedua mengenai bioterorisme di Washington DC di tahun 2000, salah satu dari kesimpulan yang diambil ialah bahwa sistem kesehatan masyarakan Amerika Serikat sama sekali tidak siap untuk menghadapi serangan yang menggunakan senjata biologis. Pada hal lain, di Maret 2001, peneliti pada pusat studi bioterorisme di Universitas St. Louis menemukan fakta bahwa 75 persen dari aparat kesehatan masyarakat mencemaskan bahwa beberapa kota di Amerika Serikat akan mendapatkan serangan senjata biologis dalam waktu 5 tahun. Ramalan para ilmuwan ini terbukti benar, sebab pada Oktober 2001, hanya 4 bulan setelah pertemuan itu, Amerika Serikat mendapat serangan Antrax.

Bioterorisme adalah masalah besar sepanjang sejarah manusia. Salah satu laporan awal mengenai bioterorisme di abad ke 6 sebelum masehi, ketika tentara Asiria meracuni sumur air dari musuhnya dengan ergot, suatu fungi yang memproduksi racun yang sering ditemukan pada rogge (sebangsa gandum). Laporan yang lebih moderen menunjukkan, pada sekitar tahun 1520, Francisco Pizarro, seorang Jendral Spanyol yang memimpin penaklukan kerajaan Inca di Peru, memberikan pakaian yang mengandung kuman cacar kepada orang Inca. Laporan yang serupa menuduh Inggris kemungkinan juga menggunakan patogen untuk menghancurkan musuh mereka sewaktu proses penjajahan Amerika Utara. Negara itu kemungkinan mendistribusikan selimut yang mengandung kuman cacar kepada orang Indian. Berikut ini dibawah akan dijabarkan penggunaan senjata biologis di jaman modern ini.






Bioterorisme saat Perang Dunia II

Apa yang kurang diketahui adalah senjata biologis yang digunakan di front eropa timur pada Perang Dunia II. Dalam bukunya, Biohazard, Ken Alibek, yang pernah menjabat sebagai wakil ketua pengembangan senjata biologis Uni Soviet tahun 1988-1991, menjabarkan pengalamannya dan riset yang tertera dalam arsip-arsip Soviet. Menurut hasil penemuannya, Uni Soviet telah menggunakan kuman yang mengakibatkan penyakit tularemia pada unit Wehrmacht (Angkatan Bersenjata Jerman) sewaktu pertempuran Stalingrad tahun 1942. 

Gejala dari penyakit ini adalah sakit kepala, mual, dan demam tinggi, yang dapat menyebabkan kematian bila tidak dirawat. Walaupun senjata biologis ini menyebabkan Jerman mengalami kerugian sangat banyak, namun penyakit ini juga menular kepada penduduk sipil dan pada tentara soviet sendiri. Kasus ini menjelaskan ternyata senjata biologis menjadi bumerang untuk pihak Soviet.

Di lain pihak, Jerman juga mengembangkan senjata biologis. Namun fungsinya hanya terbatas untuk sabotase ekonomi dan pertanian. Jerman tidak pernah serius mengembangkan patogen yang menyerang manusia, namun mengembangkan patogen untuk menghancurkan pertanian dan peternakan musuh-musuhnya. Berdasarkan informasi dari Gestapo (polisi rahasia jerman), ternyata justru Uni Soviet mengembangkan senjata biologis secara lebih serius. Soviet memiliki 8 fasilitas instalasi senjata biologis di negara mereka untuk menguji kuman antrax dan penyakit kaki-mulut. Gestapo juga melaporkan bahwa Inggris menguji kuman Antrax, disentri, dan glander. Akhirnya Gestapo justru mendapat informasi bahwa Amerika Serikat mengembangkan senjata biologis di Arsenal Edgewood (Maryland) dan Pine Bluff (Arkansas).

Walaupun Nazi Jerman memiliki berbagai laporan intelejen yang komprehensif, Adolf Hitler justru menolak setiap usul dari bawahannya untuk mengembangkan senjata biologis secara serius dan terencana. Justru Hitler mengarahkan riset Jerman kepada usaha defensif untuk menahan serangan senajata biologis dari pihak sekutu. Namun, dalam skala yang terbatas, Nazi melakukan percobaan senjata biologis pada tahanan di kamp konsentrasi mereka di Aushwich, Polandia. Tahanan dipaparkan dengan kuman Rickettsia prowazekii, Rickettsia mooseri, virus hepatitis A, dan Plasmodia spp. Namun berbeda dengan percobaan yang dilakukan Jepang, yang akan dijelaskan dibawah, percobaan pihak Nazi lebih terbatas untuk mengembangkan vaksin saja. Mayoritas tahanan di Aushwich tewas karena senjata kimia (Mereka dipaparkan DDT dan gas CO), bukan karena senjata biologis.



Percobaan Unit 731, Aushwich di Asia

Kasus lain mengenai bioterorisme skala besar, yang jarang sekali diungkap oleh para ilmuwan, adalah kasus bioterorisme oleh unit 731 di Manchuria, China bagian utara. Unit 731 adalah salah satu organ dari tentara kekaisaran Jepang yang dibentuk untuk melapangkan jalan bagi Jepang untuk menjajah China. Unit ini dibentuk sewaktu Jepang menyerbu China pada tahun 1937. 

Alasan invasi Jepang ke China, menurut versi sejarawan Jepang adalah “Untuk membebaskan rakyat China dari tipu daya Amerika dan Inggris”. Unit 731 dibentuk dengan disamarkan sebagai fasilitas pemurnian air. Ia dibangun di kota Pingfan, dekat Harbin, di China timur laut. Diperkirakan ada sekitar 3000 warga China, Korea, dan sekutu yang meninggal dalam eksperimen unit 731. Direktur unit 731 adalah Shiro Ishi, seorang dokter yang ahli bakteriologi. Ishi dan timnya, tanpa mempertimbangkan masalah etika dan moral, mengembangkan senjata demi kepentingan Jepang. Ishi memberikan para tawanan perang China, Korea, Inggris dan Amerika Serikat dengan kuman patogen seperti antrax, tanpa rasa kasihan sedikitpun.

Secara sistematis, Ishi dan timnya menjadikan para tawanan perang sebagai kelinci percobaan mereka. Para tawanan itu dipasung di atas tiang, lalu dipaparkan dengan kuman patogen. Kemudian Ishi dan teamnya dari tempat yang aman, mencatat seberapa lama lagi mereka akan meninggal. Eksperimen ini menyebakan tingkat kematian tawanan sekitar 70 persen. Bahkan dalam beberapa kasus bisa mencapai 100 persen. Korban pihak China akibat aksi bioterorisme unit 731 sangat sukar untuk diperkirakan.

Unit 731 memaparkan sungai, sumur, dan cadangan air pihak China dengan kuman kolera, disentri, tiphus, dan antrax. Menyerahnya Jepang kepada pihak sekutu pada tahun 1945 mengakhiri aksi bioterorisme unit 731 dan program pengembangan senjata biologis Jepang untuk selama-lamanya. Akibat dari aksi bioterorisme ini sangat mengerikan karena bahkan jauh setelah perang selesai, pihak China masih menderita banyak kerugian akibat serangan senjata biologis ini. Shiro Ishi ingin menggunakan senjata biologis ini pada perang pasifik di tahun 1944.

Namun perencanaan yang buruk dan sabotase sekutu menggagalkan rencana ini. Beberapa waktu sebelum Jepang menyerah kalah, laboratorium Unit 731 dihancurkan oleh Tentara Jepang. Pihak Amerika Serikat memberikan amnesti kepada para ilmuwan yang terlibat di Unit 731, namun mereka harus memberikan semua data eksperimen mereka kepada pihak Amerika. Menurut sumber resmi pemerintah Amerika Serikat, data-data eksperimen ini sangat berharga dan sukar ditakar nilainya, sebab Amerika sendiri saat itu belum pernah melakukan eksperimen serupa pada manusia hidup. Unit 731 ini memiliki proyek spesial yang menggunakan manusia sebagai bahan eksperimen.





Sumber: http://netsains.com
.

Advertiser