-->

Tuesday, July 28, 2015

Pelacuran di Dubai, Tarifnya Rp 3,6 Juta per 3 Jam

Para perempuan dari India, Sri Lanka, Bangladesh, Indonesia, Ethiopia, Eritrea, Pakistan, dan Filipina ke Uni Emirat Arab umumnya karena ingin bekerja sebagai pembantu rumah tangga. 


Namun, mereka kemudian berhadapan dengan berbagai kondisi buruk. Misalnya, jam kerja yan berlebihan tanpa upah lembur, dilarang pegang paspor, pembatasan aktivitas di luar, bahkan penyiksaan fisik maupun pelecehan seksual.

Banyak juga perempuan yang diperdagangkan di sana berasal dari dari Uzbekistan, Kyrgyzstan, Ukraina, Rusia, Kazakhstan, Armenia, Azerbaijan, Nigeria, Ethiopia, Eritrea, Somalia, Uganda, India, Pakistan, Afghanistan, China, Filipina, Iraq, dan Maroko. 

National Geographic Channel pun mengirim reporternya, Mimi Chakarova, ke Dubai, ibukota Uni Emirat Arab. 

Reporter perempuan itu melakukan investigasi ke klub-klub malam di Dubai. Ia pakai kamera tersembunyi untuk mengambil video aktivitas pelacuran di sana.

Namun, lazimnya standar jurnalistik, dia juga mewawancarai terbuka seorang pelacur dan pengamat di negeri berpenduduk mayoritas muslim yang semakin kapitalistik itu. 

Liputan Mimi Chakarova dimulai dengan video suasana pantai yang berisi para perempuan berbikini sekaligus berbusana tertutup. Satu gambaran yang tepat untuk menunjukkan kontradiksi kultural di sana. 
Mimi Chakarova, perempuan yang sesekali tampil sambil merokok itu juga menunjukkan wawancaranya dengan Sasha, pelacur dari Siberia. 

Sasha biasanya pergi ke klub malam mulai pukul 23.000, cari mangsa dan pulang pukul 05.00.  Pelacur yang kelak ingin jadi guru itu mendapat uang 500 Dirham atau sekitar Rp 1,8 juta dalam satu jam.

Jika kencan semalam (sebetulnya hanya 3 jam), upahnya Rp 3,6 juta. 

"Saya kira, negeri saya tidak baik untuk pekerjaan, untuk cari uang. Karena itu, saya tidak punya pilihan lain. Tapi ada juga beberapa yang punya pilihan untuk berbisnis (di Dubai) karena mudah cari uang di sini," kata Sasha.

Advertiser